A.
Kaidah
Sistem Ekonomi Indonesia
Landasan
konseptual sistem ekonomi nasional yang menganut sistem koperasi sebagai
pengamalan paham sosialisme ala
Indonesia. Revirsond Baswir menyusun lima ciri sistem ekonomi Indonesia sebagai
berikut :
1. Perekonomian
terbagi dalam dua wilayah :
a.
Wilayah sektor Formal,
terdiri atas :
1) Cabang-cabang produksi
yang penting bagi Negara
2) Cabang-cabang produksi
yang menguasai hajat orang banyak.
b.
Wilayah sektor
informal, yaitu cabang-cabang produksi yang tidak penting bagi Negara dan tidak
menguasai hajat orang banyak.
2. Kecuali
dalam wilayah cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara, peranan
pemerintah dalam perekonomian lebih dititik beratkan sebagai pengawas dan
pengatur.
3. Koperasi
merupakan satu-satunya bentuk perusahaan yang beroperasi dalam wilayah
cabang-cabang produksi yang menguasai hajat orang banyak.
4. Ruang
gerak perusahaan swasta yang tidak berbentuk koperasi hanya boleh beroperasi
pada cabang-cabang produksi yang tidak penting bagi Negara dan tidak menguasai
hajat orang banyak. Wilayah ini tidak perlu diatur oleh pemerintah.
5. Penentuan
harga lebih banyak diserahkan kepada mekanisme pasar.
Asas
kekeluargaan dalam bangun ekonomi Indonesia adalah koperasi, lawan dari paham
kolonialisme dengan kapitalisme dan liberalisme. Perusahaan swasta yang ada
saat ini dan ada sejak zaman kolonial secara bertahap harus berubah bentuk
menjadi koperasi dengan cara menjual kepemilikan saham perusahaan kepada
manajer dan buruh, sehingga perusahaan sepenuhnya menjadi usaha milik rakyat,
bukan milik kaum kapitalis. Dalam ajaran islam, ini sesuai dengan perintah
Allah, sebagaimana firman Allah :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila
dikatakan kepada kamu, “Berlapang-lapanglah di dalam majelis”, maka
lapangkanlah. Niscaya Allah memberi kelapangan untuk kamu” (QS Al-Mujadilah
[58]: 11).
Kata
“dikuasai” pada frase “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh Negara” tidak berarti penghapusan hak milik pribadi
secara mutlak, seperti paham komunisme. Kata “dikuasai” Negara bermakna bahwa
kepemilikan pribadi diperbolehkan, kecuali terhadap sumber-sumber daya yang
strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak. Dari segi ini sistem ekonomi
Indonesia sejalan dengan syariat Islam yang mengakui hak milik pribadi sebagai
hasil usaha yang diperoleh dengan cara yang sah dan halal.
B. Dari Entrepreneurship
ke Koperasi Informal
Negara berwenang memberikan sertifikat hak
milik tanah kepada individu merdeka yang mampu bertanggung jawab dalam
pemanfaatannya seluas yang perlu baginya sekeluarga. Namun penggunaan hak milik
tanah itu harus sesuai dengan sifat atau fungsi kemasyarakatan, tidak boleh
menjadi alat menindas orang lain. Tanah yang dikuasai individu warga, tetapi
dibiarkan terlantar, tidak produktif, tidak dimanfaatkan sesuai sifat
sosialnya, maka harus dikembalikan kepada Negara atau mengalihkannya kepada
warga yang lain.
“Barangsiapa
yang memiliki tanah maka hendaklah menanaminya, atau memberikannya kepada
saudaranya.” (HR Muttafaqun ‘Alaih)
Atas dasar itu, setiap orang wajib bekerja
atau berusaha menjalankan bisnis sesuai peluang, minat, bakat, dan keahlian
yang dimilikinya. Islam pun melarang umatnya merendahkan martabatnya dengan
mengemis atau mengandalkan hidup dari sedekah.
Pada awal hijrah umat islam dari Makkah ke
Madinah, para sahabat mengembangkan kemitraan usaha model Mudharabah. Kerjasama
usaha model Mudharabah dalam konteks ekonomi disebut “Koperasi Informal”.
Kerjasama usaha tidak secara resmi berbadan hukum koperasi. Meskipun demikian,
jiwa kerjasama usaha ini sama dengan bentuk usaha koperasi yang menghargai
manusia bukan hanya karena faktor tenaganya semata.
Kesamaan
kebutuhan dimaksud meliputi :
1. Kebutuhan
ekonomis
a.
Kebutuhan mendapatkan
pinjaman yang cepat dan murah
b.
Produksi bersama untuk
mendapatkan harga yang layak dari barang-barang yang dijual
c.
Kebutuhan membeli bahan baku atau melakukan pembayaran
bersama agar mendapatkan keringanan atau diskon khusus
2. Kebutuhan
politis
a.
Kebutuhan menghindari
pemerasan ekonomi dan social
b.
Menghindari persaingan
tidak sehat
3. Kebutuhan
manajerial
a.
Menyatukann dan
memperkuat potensi ekonomi, solidaritas, dan efektivitas kordinasi antar pelaku
usaha supaya mendapatkan pelayanan yang prima, teratur dan berkelanjutan
b.
Melakukan pebagian
kerja sesuai keahlian sehingga dapat meningkatkan kualitas mutu barang dan
jasa.
Kontrak kerjasama antar
pelaku ekonomi dalam masyarakat pra koperasi atau koperasi informal dilakukan
dengan akad mudharabah atas dasar saling percaya tanpa campur tangan pemerintah.
C. Badan Hukum Koperasi
Rakyat berserikat membangun usaha milik
bersama berbentuk koperasi secara formal. Para anggota yang berhimpun
dikoperasi adalah pelanggan sekaligus pemegang saham perusahaan sesuai
kemampuan masing-masing. Perusahaan koperasi adalah milik bersama, sehingga
semua pihak menikmati pertumbuhan, kemajuan, dan keuntungan perusahaan. Dalam
persepektif Islam, akad yang dilakukan dalam berkoperasi adalah akad syirkah.
Tujuan akhir koperasi adalah menjalankan
misi Negara mewujudkan kesejahteraan universal seluruh rakyat. Koperasi
menggali potensi sumber ekonomi dari kekuatan rakyat, kekuatan modal bersama,
dan sebisa mungkin menghindari godaan hutang dari pihak asing. Hal ini selaras
dengan doa Rasulullah SAW yang mohon perlindungan kepada Allah dari jeratan
hutang.
Penentu kebijakan koperasi adalah manusia
dengan kecerdasannya, sedangkan modal material berupa lahan, uang dan mesin
hanya alat untuk memenuhi kepentingan ekonomi bersama seluruh rakyat, dan
keuntungannya dibagi kepada anggota menurut jasa dan partisipasi masing-masing
dalam memajukan bisnis koperasi. Faktor pemersatunya, bisnis koperasi dalam
mengelola sumberdaya yang ada harus memperhatikan tiga hal secara seimbang,
yakni laba, manfaat sosial, dan kelestarian bumi.
Peran Negara adalah bertindak sebagai
pelundung dan pembangun ekonomi kerakyatan dengan memberi ruang yang luas bagi
rakyat untuk berkoperasi. Kolaborasi Negara bersama kekuatan rakyat yang
terhimpun dalam badan hukum koperasi menjadi gelombang ekonomi yang bisa menjalankan
fungsi fungsi soko guru ekonomi nasional. Selain itu, peran Negara sebagai
pembangun ekonomi rakyat adalah memberikan kemudahan kredit usaha koperasi yang
bersumber dari tabungan Negara. Negara menggunakan uang Negara untuk membiayai
kegiatan bisnis koperasi dalam rangka melakukan percepatan pembangunan wilayah
dan perluasan lapangan kerja.
Hal ini sejalan dengan syariat Islam yang
mengajarkan agar pemerintah menjaga uang Negara layaknya uang anak yatim dan
mengusahakannya untuk investasi pada kegiatan produktif dan menguntungkan.
Allah SWT berfirman:
“Dan
janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta
(mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok
kehidupan.” (Qs. An-Nisa [4]: 5)
Koperasi adalah jamaah ekonomi rakyat yang
dapat meninggikan ‘izah (harga diri) umat dihadapan bangsa-bangsa lain,
sebagaimana firman Allah SWT:
“izzah (kekuatan) itu hanyalah bagi Allah, bagi
Rasul-Nya dan bagi orang –orang mu’min…”
(Qs. Al-Baqarah [2]: 143)
Dalam prinsip koperasi, usaha tidak hanya
menjalankan bisnis, tetapi juga melaksanakan fungsi pendidikan dan pembanguna
sosial. Tidak hanya mencarai keuntungan, tetapi juga menyediakan kebutuhan umum
dan pelayanan sosial.
D. Koperasi Dalam
Kebijakan Negara (Baitul Mal wat Tanwil)
Kas
Negara (Baitul Mal) dalam Islam bersumber dari zakat (warga muslim) dan jizyah
(pajak warga non-muslim). Selain itu, Negara mengelola cabang-cabang produki
yang penting bagi Negara, seperti industri dirgantara, dan lain-lain. Zakat
adalah kewajiban yang harus dipungut dari aghniya (orangorang kaya), kemudian
diberikan kepada fakir miskin. Sedangkan jizyah atau pajak non muslim adalah
imbal jasa atas perlindungan dan layanan yang mereka terima dari Negara. Tarif
jizyah adalah 10% dari pendapatan sebagaimana diajarkan agama Yahudi dan
Kristen dan alokasi jizyah bersifat politik sesuai kebutuhan Negara.
Dalam praktek Negara modern Indonesia,
zakat dalam banyak hal berbeda dengan pajak. Zakat diambil dari orang kaya,
sedagkan pajak diambil juga dari para pekerja, pengusaha kecil, pengrajin,
pedagang kaki lima, pegawai Negara, dan konsumen untuk membiayai kepentingan
pemerintah dan perangkatnya. Kebijakan baitul mal wat tanwil dimulai dengan
menyusun perencanaan pembangunan dan manajemen logistik nasional yang
disandingkan dengan anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN).
Al-Qur’an telah memberi contoh perencanaan
pembangunan jangka panjang, dalam kurun waktu empat belas tahun, yang dilakukan
oleh Nabi Yusuf AS.
Yusuf
berkata : “Supaya kamu bertanam tujuh
tahun (lamanya) sebagaimana biasa. Maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu
biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian sesudah itu akan
datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan
untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang
kamu simpan.” (Qs. Yusuf [12]: 47-48)
Di era informasi, Negara harus kembali
menguasai perusahaan telekomunikasi, media dan teknologi informasi. Negara,
pada saat ini tidak dapat membendung arus informasi yang mengalir deras, karena
Negara tidak lagi mengendalikan Media, Tv, dan Radio. Karena Negara sendiri
tidak memiliki kendali terhadap percetakan, stasiun televisi, dan pemancar
radio atau jaringan satelit.
Konstitusi telah menggariskan dengan
jelas, bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dikuasai oleh
Negara. Yang harus dilakukan Negara adalah melakukan reformasi birokrasi dan
rekrutmen pegawai yang bersih dan professional. Pejabat Negara yang menyalah
gunakan kewenangannya harus dihukum dengan tegas.
Keberadaan BUMN telah menciptakan lapangan
kerja bagi rakyat dengan semangat patriotisme untuk memartabatkan Negara dalam
pergaulan antar bangsa sekaligus memajukan kesejahteraan rakyat secara umum.
Sebaliknya, privatisasi hanya berorientasi pada keuntungan bagi pemegang saham
dengan mengorbankan rakyat, misalnya dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Privatisasi adalah kebijakan yang dilakukan bukan jalan pintas dengan menjual
asset atau menjual saham BUMN kepada swasta. Akibatnya terjadi pengangguran
intelektual, dan anak bangsa yang potensial “terpaksa” bekerja di Negara lain,
karena dibuang oleh bangsanya sendiri.
Keuntungan BUMN merupakan income Negara,
yang menurut UUD 1945 haru digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Inilah bentuk tanggung jawab Negara kesejahteraan rakyat, terutama kelompok
lemah (dhu’afa) dan yang tertindas (mustadh’afin).
Dalam sejarah Islam, Rasulullah SAW
memberi contoh, bahwa sebagai pemimpin kaum Muslimin, beliau bertanggung jawab
terhadap kesejahteraan seluruh rakyat, terutama anak yatim, fakir miskin, dan
anak-anak terlantar. Rasululah SAW sebagai pemimpin selalu mendahulukan
kepentingan umat daripada kepentingan dirinya sendiri. Aisyah RA berkata :
“Rasulullah SAW tidak pernah kenyang sepanjang
tiga hari berturut-turut. Kalau seandainya kami, mau pasti kami kenyang, akan
tetapi beliau selalu mengutamakan orang lain daripada dirinya (sendiri).”
(HR. Baihaqi)
Tradisi hidup sederhana ini dilanjutkan
oleh para khalifah pengganti beliau, Abu Bakar, Umar, Ustman, dan Ali
Radhiyaullohu’anhum. Umar bin Khatab pernah berkata :
“Saya dengan harta (kas Negara) ini tidak
lain kecuali seperti wali anak yatim, jika saya sudah cukup, maka saya
berhati-hati, tetapi jika saya memerlukan maka saya memakannya dengan ma’ruf
(baik).”
Gaji dan tunjangan kepala Negara dan
seluruh aparaturnya harus wajar, tidak berlebihan, sehinnga keuangan Negara
yang ada pada Baitul Maal (Perbendaharaan Negara) lebih banyak dialokasikan
untuk pembangunan dan melayani rakyat. Jadi, efisiensi di BUMN dilakukan dengan
menjaga keuangan Negara dari korupsi, seperti diteladankan Nabi Yusuf dan
membudayakan hidup zuhud (sederhana) dan wara’ (kehati-hatian) dalam penggunaan
uang Negara di pemerintahan.
SUMBER:
Fadlullah. 2016. Khazanah Peradaban Islam Nusantara. Serang : CV. Tiara Kerta Jaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar